Jumat, 01 Januari 2010

KEPUASAN KERJA karyawan

Kedudukan sumber daya manusia di dalam perusahaan sangat penting. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen sumber daya manusia agar pengelolaan sumber daya manusia dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan. Adapun pengertian manajemen sumber daya manusia menurut Flippo (1990: 5) adalah:Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pengadaan, pengembangan, pemberian pengupahan, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.
Faktor penting yang mempengaruhi prestasi kerja adalah motivasi kerja. Motivasi berasal dari kata motive. Motive adalah keadaan dalam diri seseorang yang menimbulkan kekuatan, menggerakkan, mendorong, mengarahkan, motivasi. Menurut Gerungan motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja (Gerungan, 1982: 23). Semakin besar motivasi kerja karyawan semakin tinggi prestasi kerjanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi kerja adalah faktor yang sangat penting dalam peningkatan prestasi kerja.
Selain ditentukan oleh motivasi kerjanya, prestasi kerja karyawan juga ditentukan oleh kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (As’ad, 1994: 133).
Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dari sikap karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu di lingkungan kerjanya. Menurut Handoko (1998: 193):Menjadi kewajiban setiap pemimpin perusahaan untuk menciptakan kepuasan kerja bagi para karyawannya, karena kepuasan kerja merupakan faktor yang diyakini dapat mendorong dan mempengaruhi semangat kerja karyawan agar karyawan dapat bekerja dengan baik dan secara langsung akan mempengaruhi prestasi karyawan. Seorang manajer juga dituntut agar memberikan suasana kerja yang baik dan menyenangkan juga jaminan keselamatan kerja sehingga karyawan akan merasa terpuaskan. Menurut As’ad (2000: 102):Kepuasan kerja menjadi menarik untuk diamati karena memberikan manfaat, baik dari segi individu maupun dari segi kepentingan industri. Bagi individu diteliti tentang sebab dan sumber kepuasan kerja, serta usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan kerja individu, sedangkan bagi industri, penelitian dilakukan untuk kepentingan ekonomis, yaitu pengurangan biaya produksi dan peningkatan produksi yang dihasilkan dengan meningkatkan kepuasan kerja.
Salah satu cara yang ditempuh departemen personalia untuk meningkatkan prestasi kerja, adalah melalui pemberian upah berdasarkan sistem insentif. Sistem insentif adalah sistem pemberian upah berdasarkan prestasi kerja karyawan (Simamora, 1998: 629). Tujuan sistem insentif pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam berupaya meningkatkan prestasi kerjanya dengan menawarkan perangsang finansial bagi karyawan yang mampu mencapai prestasi kerja tinggi. Menurut Handoko “Bagi mayoritas karyawan, uang masih tetap merupakan motivasi kuat – atau bahkan paling kuat” (Handoko, 1998: 176). Atas dasar itulah diperkirakan pemberlakuan sistem insentif akan mampu membuat karyawan termotivasi untuk meningkatkan prestasi kerjanya, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi perusahaan.
Amico Art & Curio adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi furniture yang mempunyai pasar dalam dan luar negeri. Produk yang diproduksi adalah furniture/meubel repro antik. Macam barang yang diproduksi antara lain meja, kursi, almari, buffet, gebyog dan lain-lain. Data produksi tahun 2000-2001 menunjukkan bahwa produksi perusahaan adalah sebagai berikut:Tabel I.1. Data Produksi PT Amico Art & Curio Tahun 2000-2002
Sumber: Data Produksi PT Amico Art & Curio Tahun, 2001. Produksi perusahaan pada tahun 2000-2001 mengalami penurunan lebih kurang sebesar 5,09%, dan produksi perusahaan pada tahun 2001-2002 mengalami penurunan lebih kurang sebesar 3,95%. Penurunan ini bukan disebabkan karena menurunnya jumlah permintaan perusahaan, akan tetapi karena perusahaan tidak dapat memenuhi jumlah produksi yang diminta disebabkan menurunnya kinerja karyawan perusahaan.Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa karyawan PT Amico mengalami penurunan prestasi kerja. Penurunan prestasi kerja ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, karena akan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kerugian, bahkan kemungkinan yang paling buruk adalah bangkrutnya perusahaan. Oleh karena itu pihak manajemen perlu segera mengantisipasi dengan menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja karyawan. Dalam hal ini secara teoritis faktor yang paling berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan adalah faktor kepuasan kerja, motivasi kerja dan sistem insentif. (http://www.skripsi-tesis.com/06/15/pengaruh-kepuasan-kerja-dan-motivasi-kerja-terhadap-prestasi-kerja-karyawan-pada-pt-amico-art-and-curio-semarang-pdf-doc.htm)

Persaingan bisnis antarperusahaan semakin ketat baik di pasar domestik
maupun internasional pada era globalisasi di abad ke-21 ini. Untuk memenuhi kepuasan
pelanggan pada industri jasa, produktivitas sangat penting bagi perusahaan untuk
dikelola dengan baik. Tague mengatakan bahwa kelambatan pertumbuhan produktivitas
disebabklan oleh suatu kegagalan moral organisasi dan merupakan cerminan dari
bagaiman cara manajer dan para pekerja memandang organisasi mereka. Organisasi-
organisasi yang berbagi tanggung jawab secara terbuka dan jujur menuntun industri
mereka ke dalam kualitas dan produktivitas (dalam Timpe, 1999:3).
(http://eprints.ums.ac.id/151/1/EDI_PRASETYO.pdf)

Jumat, 20 November 2009

Teori Motivasi (Drive Reinforcement) _kelompok_

A.A Putri Sharen Ameilia 10507272
jhonris Prsaulian 10507315
Siti Een 10507227

Teori Motivasi

Dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
(1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex
(2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual;
(3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
(4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan
(5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.



Contoh Kasus:
Need of self Actualization
Pak Rudi adalah seorang pensiunan direktur disuatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan, sudah dua tahun ia pensiun dari perusahaan tersebut dan posisinya sebagai direktur, kini digantikan oleh anaknya Samy. Semenjak ia pensiun, semua urusan perusahaan ditangani oleh Samy tanpa kecuali, ia tidak ingin ayahnya terbebani pikiran karena sudah pensiun. Walau merasa dirinya sudah pensiun Pak Rudi ingin sekali berpartisipasi mengembangkan perusahaan, namun anaknya melarang karena merasa ayahnya itu sudah lebih baik dirumah saja. Pak Rudi merasa kebutuhan akan aktualisasi dirinya tidak terpenuhi, karena walau ia sudah pensiun, ia ingin membuktikan bahwa ia masih berkompeten dengan pengalaman-pengalamannya demi perkembangan perusahaannya.

Teori Drive Reinforcement
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2. Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.

Nadler dan Lawler (1976) atas teori harapan menyarankan beberapa cara tertentu yang memungkinkan manejer dan organisasi menangani urusan mereka untuk memperoleh motivasi maksimal dari pegawai :
1. Pastikan jenis hasil atau ganjaran yang mempunyai nilai bagi pegawai
2. Definisikan secara cermat, dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur, apa yang dinginkan dari pegawai
3. Pastikan bahwa hasil tersebut dapat dicapai oleh pegawai
4. Kaitkan hasil yang dinginkan dengan tingkat kinerja yang di inginkan
5. Pastikan bahwa ganjaran cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting
6. Orang bekinerja tinggi harus menerima lebih banyak ganjaran yang diinginkan daripada orang yang berkinerja rendah.
Terdapat empat konsep dasar yang perlu dipahami dengan jelas, yaitu:
1. Perangsang (drive)
Suatu keadaan yang timbul di dalam diri seseorang. Contoh: perangsang primer dan sekunder. Primer seperti lapar (tidak dapat dipelajari). Sekunder seperti rasa penasaran untuk hadir pada pembicaraan tinjauan balikan prestasi (yang dapat dipelajari).
2. Stimulus
Suatu petunjuk adanya peristiwa untuk tanggapan. Contoh: permintaan seorang supervisor adalah suatu stimulus untuk menyelesaikan pekerjaan, dan waktu pada jam dinding adalah suatu stimulus untuk bangun dan pergi ke pertemuan rapat komisi.
3.Tanggapan
Suatu hasil keprilakuan dari stimulus. Contoh: aktivitas dari orang yang bersangkutan, tanpa memandang apakah stimulus itu dapat diidentifiksasikan atau aktivitas tersebut dapat diamati.


4. Penguat
Suatu setiap obyek datau kejadian yang membantu meningkatkan atau mempertahankan kekuatan sebuah tanggapan. Contoh: pujian dari atasan, kenaikan gaji, dan alih ttugas ke pekerjaan yang diingkan.

TEORI TUJUAN
Teori ini menyatakan bahwa mencapai tujuan adalah sebuah motivator. Hampir setiap orang menyukai kepuasan kerja karena mencapai sebuah tujuan spesifik. Saat seseorang menentukan tujuan yang jelas, kinerja biasanya meningkat sebab:
• Ia akan berorientasi pada hal hal yang diperlukan
• Ia akan berusaha keras mencapai tujuan tersebut
• Tugas tugas sebisa mungkin akan diselesaikan
• Semua jalan untuk mencapai tujuan pasti ditempuh

Teori ini mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan Goal Setting (penetapan tujuan).
Penetapan tujuan juga dapat ditemukan dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai kepentingan pribadi (valence) yang berbeda-beda.
Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan peusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keterikatan (commitment) besar untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu dapat terjadi bahwa keterikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar.
Teori Harapan
Teori ini termasuk kedalam Teori – teori Kesadaran. Teori ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusanyang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai – nilai mereka.
Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu , dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.
Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan, mengatakan seseorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia menyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik (Victor Vroom dalam Robbin 2003:229).
Teori ini dikemukakan oleh Victor H. Vroom yang menyatakan bahwa kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan dari hasil pekerjaan itu.

Teori harapan ini didasarkan atas :
1. Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena perilaku.
2. Nilai (Valence) adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai / martabat tertentu (daya/nilai motivasi) bagi setiap individu yang bersangkutan.
Pertautan (Instrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengan hasil tingkat kedua.
Contoh Kasus:
Seorang karyawan pada bagian/divisi penjualan berupaya meraih target penjualan tertentu untuk mendapatkan bonus berupa liburan ke luar negeri. Dalam teori harapan, karyawan tersebut berusaha mendapatkan kesempatan untuk memenuhi target karena ingin pergi ke luar negeri.

Minggu, 25 Oktober 2009

kepemimpinan

jhonris parsaulian (10507315) 3PA05

Teori-Teori Leadership

Kepemimpinan (Leadership) adalah suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu (Gibson et al., 1999). Defnisi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan melibatkan pegunaan pengaruh dan karenanya semua hubungan dapat merupakan upaya kepemimpinan. Unsur kedua dari definisi itu menyagkut pentingnya proses komunikasi. Pemrosesan komunikasi menggunakan konteks yang spesifik untuk membentuk persepsi (Matviuk, 2007), sehingga kejelasan dan ketepatan komunikasi mempengaruhi perilaku dan prestasi pengikut.

Dalam studi politik di Indonesia, tema kepemimpinan politik melahirkan beberapa karya yang cukup penting. Salah satu studi yang cukup terkenal dilakukan oleh indonesianis asal Australia, Herbert Feith. Dalam bukunya The Decline of Costitutional Democracy, ia membahas tipe kepemimpinan yang lahir pada masa orde lama berkuasa, khususnya masa demokrasi liberal (1949-1957). Pertama seorang penggalang solidaritas massa (solidarity makers) dan kedua, tipe pemimpin seorang administrator. Kedua tipe pemimpin tersebut lahir dari perenungan Feith terhadap konteks sosial politik pada periode 1949-1957. Pada masa itu republik Indonesia baru saja berdiri. Organisasi-organisasi politik yang pernah berjuang dibawah pemerintahan Belanda mulai berkompetisi untuk masuk ke dalam tubuh negara (Herbert Feith. (1962). The Decline of Costitutional Democracy. Ithaca & London : cornell University Press. Hal. 113)

Kepemimpinan diterapkan oleh pemimpin dalam organisasi bisnis didasarkan atas nilai-nilai personal mereka (Robinson et al., 2007). Tiga lapis nilai-nilai personal yang berkaitan dengan kepemimpinan adalah lapisan pertama bersandarkan pada nilai-nilai moral dan keprilakuan (surface), diikuti denagn komitmen pada kualitas dan belajar seumur hidup (hidden) dan terakhir nilai-nilai kognitif (deep) (Robinson et al., 2008).

Nilai- nilai personal dari pemimpin ditambah dengan model-model motivasi dan kekuasaan sebagai alat kepemimpinan dapat digunakan sebagai pijakan untuk pengembangan kepemimpinan.

  1. Teori Kepempinan Partisipatif.

Gaya kepemimpinan partisipatif adalah gabungan bersama antara gaya kepemimpinan otoriter dan demokratis dengan cara mengajukan masalah dan mengusulkan tindakan pemecahannya kemudian mengundang kritikan, usul dan saran bawahan. Dengan mempertimbangkan masukan tersebut, pimpinan selanjutnya menetapkan keputusan final tentang apa yang harus dilakukan bawahannya untuk memecahkan masalah yang ada (sumber:http://www.indonesiannursing.com/2008/05/25/kepemimpinan-dalam-keperawatan/)

  1. Teori X dan Y (Douglas McGregor).

Douglas Mc Gregor mengemukakan bahwa para pimpinan organisasi birokratis menganut asumsi tentang sifat alami manusia yang oleh Mc Gregor disebut Teori X. Asumsi tersebut adalah:
1) Rata-rata individu memiliki ketidaksukaan pada pekerjaan dan akan menghindarinya sewaktu ada kesempatan.
2) Rata-rata individu memilih diarahkan dengan harapan menghidari tanggung jawab dan lebih tertarik kepada insentif materi daripada prestasi diri.
3) Karena manusia tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dikendalikan, diancam dan dipaksa untuk mengerahkan usaha yang cukup untuk mencapai tujuan organisai.
Mc Gregor mempertanyakan asumsi tersebut dengan mengajukan asumsi yang berbeda (Teori Y) agar dapat mendorong pekerja untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara utuh. Asumsi teori Y adalah:
1) Pengeluaran usaha fisik dan mental dalam bekerja harus seimbang dengan istirahat atau hiburan.
2) Manusia akan membiasakan kontrol diri dan mengarahkan diri untuk mencapai tujuan-tujuan yang dipatuhinya secara pribadi.
3) Rata-rata individu belajar di bawah kondisi yang sesuai untuk mencari dan menerima tanggung jawab.
4) Kapasitas untuk menerapkan imajinasi dan kreatifitas terhadap pemecahan masalah-masalah organisasi secara lebih luas terbagi di antara para pekerja.(sumber: http://www.indonesiannursing.com/2008/05/25/kepemimpinan-dalam-keperawatan/)

  1. Teori Sistem 4 (Rensis Likert).

Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara

kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau

perusahaan. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan adalah empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat sistem

tersebut terdiri dari:

- Sistem 1, otoritatif dan eksploitif :

manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah

para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara

kaku ditetapkan oleh manajer.

- Sistem 2, otoritatif dan benevolent:

manajer tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan

untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. Bawahan juga diberiberbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan

prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.

- Sistem 3, konsultatif:

manajer menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal

itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusankeputusan

mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih

digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman.

- Sistem 4, partisipatif :

adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi

seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat

oleh kelompok. Bila manajer secara formal yang membuat keputusan, mereka

melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota

kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer tidak hanya mempergunakan

penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada

bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting.